Setiap orang hidup tidak bisa terlepas dengan
bahasa. Bahkan salah satu perbedaan mencolok antara manusia dengan makhluk
lainnya adalah kemampuan dalam mendiskripsikan
kata-kata dan penggunaan kosa kata dalam berbahasa. Sehingga bahasa
selalu menarik untuk diamati, dikaji dan diteliti.
Menurut Ibnu Jinni Bahasa merupakan sistem
bunyi yang memiliki makna tertentu sebagai upaya untuk menyalurkan apa yang
dirasakan oleh seseorang. Seorang anak yang baru dilahirkan dari Rahim ibunya,
panca indra yang berfungsi pertama kali adalah telinga. Oleh karena itu, dalam
hukum islam, seorang bayi yang baru dilahirkan disunahkan untuk dikumandangkan
adzan di telinga kanan dan telinga kirinya. Hal ini dapat menstimulasi kemampuan
indra pendengar anak. Dan pada kegiatan inilah anak pertama kali mendengarkan
bahasa.
Menginjak pertambahan usia dan pertumbuhan
fisik serta perkembangan kognitifnya anak mulai dapat mendengar bunyi-bunyi
yang ada disekelilingnya. Termasuk yang paling utama adalah bunyi-bunyi yang
sering kali diucapkan oleh seorang ibu. Sebab di usia balita, sebagian besar
waktu anak adaah bersama ibunya. Sehingga beberapa ilmuwan berpendapat bahwa
bahasa pertama yang dikenal anak adalah bahasa ibu.
Seorang ibu
biasanya selalu mengajak anaknya berbicara. Ibu bercerita banyak hal kepada
anaknya. Semula anak hanya diam saja sebab anak belum memahami bahasa apa, apa
artinya dan apa maksud dari perkataan ibunya. Namun lama-kelamaan anak akan dapat mengerti
dan memberikan respon dari perkataan ibunya. Dalam pembelajaran
Bahasa ada beberapa teori, yaitu teori behavioristic, teori nativistik, teori
kogtiv yang berkembang menjadi konstruktivistik, teori fungsionalis,
interaksionis dan pragmatis.
Pada pelaksanaan
pembelajaran bahasa yang menggunakan teori behavioristic, anak akan
diperkenalkan bahasa mulai dari unsur terkecil yakni huruf, dikembangkan
menjadi suku kata, kemudian menjadi kata, kata disusun menjadi kalimat dan
kalimat disusun menjadi teks. Cara belajar ini diantaranya diterapkan dalam
kurikulum 1994.
Teori nativistik
meyakini bahwa kemampuan bahasa anak merupakan bawaan lahir, sehingga tindakan
apapun tidak akan berpengaruh pada kemampuan anak. Hanya saja penganut teori
nativistik memahami bahwa setiap individu memiliki LAD (language acquation
device) yang mampu mengolah informasi-informasi kebahasaan anak. Sehingga semakin bertambahnya kemampuan anak
dalam berbahasa bukan karena ada pengaruh eksternal tapi karena telah
berfungsinya secara maksimal LAD yang dimiliki masing-masing anak.
Teori kognitivisme
atau konstruktivisme saat ini mulai digunakan dalam kurikulum 2013. Pada implementasi
pembelajaran bahasa yang menggunakan teori konstruktivisme anak akan diajarkan
bahasa bukan dari huruf (satuan terkecil bahasa) melainkan langsung dari teks,
seperti yang dapat diamati dari buku-buku tematik siswa yang langsung
menggunakan teks atau syair-syair lagu. Dari teks itulah siswa belajar
unsur-unsur teks. Sehingga dari teks siswa akan dapat memahami kalimat, kata
lebih kecil lagi suku kata dan yang terkecil yaitu huruf.
Pada anak
balita, ia akan menggunakan teori konstruktivisme ketika tidak mendapatkan apa
yang diinginkannya sebab tidak tepat dalam mengucapkan. Seperti contoh, saat
anak mengucapkan “pel..pel..”, seorang ibu akan bertanya “apa nak, apel?”. Diambilkan
lah apel, lalu anak tersebut menolak. Sebab ibu belum paham apa yang dimaksud
anaknya, sehingga anak akan menunjuk perutnya untuk menjelaskan apa yang diinginkannya.
Baru ibu paham dan mengucapkan “o…laperr”. Maka dari jawaban ibu itulah anak
kemudian mengkonstruksi pamahamannya bahwa kalau menunjukkan rasa lapar
bilangnya “laper bukan pel”, dan untuk beberapa anak yang cedal, ia
mengucapkannya dengan “lapel”.
Untuk belajar
bahasa dengan teori fungsionalis, interaksionis dan fungsionalis insyaAllah
menyusul.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar