Selasa, 26 Juli 2011

Apa sebenarnya mahasiswa itu?

Saya adalah mahasiswa Universitas Islam Negri Maulana Malik Ibrahim Malang. Saat ini masih di tahap semester 3, masih seumur jagung memang tapi saya ingin bercerita sedikit tentang judul yang saya tulis di atas. Saya tertarik untuk menulis artikel terkait hal ini setelah saya mengamati berbagai karakter mahasiswa baik di kampus ini atau kampus lainnya yang masih di teritorial Malang.

Sebelumnya saya narasikan terlebih dahulu titik acuannya. Dulu saat saya masih duduk di bangku Madrasah Aliyah Negri 3 Kediri yang sekarang berekonstruksi menjadi Madrasah Aliyah Negri Kota Kediri 3, saya mempunyai teman laki-laki yang menurut saya sangat unik kepribadiannya. Sebut saja dia Aziz. Saat kelas X MA saya satu kelas dengannya. Namun kelas XI dan XII tidak lagi, karena dia memilih masuk IPS dan saya memilih masuk IPA. Walau tidak sekelas komunikasi kami tetap baik sama dengan teman-teman yang lain.

Saat kelas X dia terlihat biasa-biasa saja. Kebetulan saat kelas XII dia punya pacar yang satu kelas dengan saya. Dari situ saya tahu banyak tentang teman lama saya itu. Yang saya dengar dia seseorang yang sangat cinta sejarah. Buku bacaannya pun selalu berkaitan dengan sejarah. Saya menjadi begitu penasaran. Ya, seperti yang saya bilang tadi, karena di kelas X dia terlihat begitu biasa-biasa saja. Tidak sengaja suatu hari saya berpapasan dengan Aziz yang baru dari perpus. Dia membawa sebuah buku, yang tidak begitu jelas judulnya apa.

Suatu hari ketika bertemu aku melihat di tangannya masih terdapat sebuah buku yang sama seperti yang di bawa sebelumnya. Lalu karena penasaran aku pun tanya pada dia, sekaligus membuktikan pernyataan teman-teman tadi.

“Buku apa itu Ziz?”
“Buku Soe Hok Gie”.

Mendengar jawaban itu, aku jadi tidak tertarik untuk melanjutkan komunikasi ini. Hari demi hari saat aku temui dia, dia masih membawa buku yang sama akhirnya aku pun tertarik untuk mengetahui isi buku itu, sehingga ia sangat menyukai buku itu.

“Buku tentang apa itu?”
“Perjuangan seorang idealism”
Lagi-lagi aku tidak tertarik dengan jawabannya.
Rupanya selama ini aku salah menilai. Aku baru tahu buku Soe Hok Gie memang buku yang sangat menarik bukan maksud saya untuk promosi buku tapi dari sinilah saya akan mengulas sedikit mengenai judul yang telah saya tulis di atas.

Seperti yang dikemukakan oleh Jean Fransisco Lytord, pendidikan di era kapitalisme global ini, tidak lagi menjadi hasrat pengetahuan, namun menjadi hasrat kekuasaan, dan pengembangan teknologi serta aplikasi dari hasil produksi para penguasanya. Pernyataan ini memiliki makna yang sangat dalam . Dimana dalam pendidikan sekarang ini tidak lagi memberikan kebebasan yang mengarah pada pluralisme pemikiran namun lebih tersistem untuk membuat fasisme pemikiran. Pemikiran-pemikiran para siswa atau mahasiswa khusunya diseragamkan bahwa pendidikan hanyalah sarana untuk mencari pekerjaan, bukan yang lain. Sehingga yang ada dalam pikiran mahasiswa di era ini hanya kerja, kerja dan kerja.

Padahal mahasiswa merupakan aktor pertama maju atau tidaknya Negara Indonesia ini. Apabila mahasiswa tidak kritis menanggapi permaslahan dalam negara, dan tidak melakukan aksi kongkrit terhadap permasalan-permasalahan tersebut, maka negara ini ya akan seperti ini saja. Lantas dimana karakter mahasiswa sebagai agent of change, agent of control, dan agent of social? Jika hanya diam saja.

Dari segi akademik sebagian besar mahasiswa memang sudah tidak perlu dipertanyakan lagi. Tapi dari segi aksi hanya sedikit mahasiswa yang akhirnya mau melakukan aksi kongkret dari penyelesaian masalaha yang terjadi. Maksudnya seperti ini, sebagian besar mahasiswa saya rasa telah mampu menganalisis, memperdebatkan, dan mendiskuskan permasalahan di kampus ataupun masyarakat sosial. Seperti penganalisisan kasus korupsi, intelegensi, penggusuran dan lainnya. Tapi apakah permaslahan itu dapat selesai hanya dengan di analisis atau didiskusikan saja? Jawabannya tentu tidak. Inilah yang kemudian saya sebut dengan Mahasiswa oportunis.

Mahasiswa oportunis adalah mahasiswa yang tidak melakukan tindakan kongkret saat dia tahu permasalahan yang terjadi. Sebab ia takut apabila ia harus keluar dari zona aman. Sebagian mahasiswa biasanya justru memandang aneh atau bahkan alergi terhadap aksi-aksi kongkret seperti demo atau hal lain yang sedang dilakukan oleh mahasiswa yang idealism. Mereka tidak menyadari bahwa itu adalah salah satu bentuk perjuangan.

Seperti dalam Buku “Soe Hok Gie Sekali Lagi”, Gie mengatakan di Indonesia hanya ada dua pilihan , menjadi seorang idealis atau apatis. Idealism adalah sebutan bagi mereka yang rela keluar dari zona aman untuk menegakkan kebenaran. Sedangkan apatis adalah sebutan bagi mereka yang lebih memetingkan posisinya di zona aman dari pada menegakkan keadilan yang tidak berpengaruh pada kehidupannya.

Sekarang coba kita lihat masyarakat kita. Banyak teman-teman mahasiwa yang membutuhkan pertolongan kita terkait denga spp atau sistem kampus yang telah menjeratnya, masih banyak masyarakat Indonesia yang membutuhkan bantuan kita untuk keluar dari himpiitan ekonomi dan kekuasaan, lihat orang-orang miskin di pojok kota, seperti apa kehidupan mereka. Apabila kita tidak mengulurkan tangan untuk membantu mereka, siapa lagi saudara.............??

Dan sekarang terserah anda masih menjadi mahasiswa yang oportuni, atau seorang mahasiswa yang idealism................

Tidak ada komentar:

Posting Komentar