StoryPoem

Perasaan yang tertipu


Siang ini tidak ada kegiatan yang lebih menarik lagi kecuali hanya menangis tersungkur di dalam kamar. Air mata terus mengalir, bibir terus bergetar, badan tersungkur lunglai di atas ranjang, isak tangis tiada henti terdengar dari bilik pintu kamar Ziya.

“Kasihan benar Ziya, dia sudah tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini.”
“Bagaimana bisa seperti itu?”
“Orang tua dan ketiga adiknya telah meninggal sebulan yang lalu. Saat itu ada undangan wali mahasiswa di kampus, maka kedua orang tuanya pun berniat memenuhi undangan itu. Ke tiga adiknya yang masih kecil, di bawa oleh ayah dan ibu Ziya ke kampus ini. Namun naas di tengah perjalanan Solo-Malang bus yang mereka naiki sekitar pukul 01.00 WIB, menabrak truk Pertamina yang memuat bensin, sehingga ledakan dahsyat pun terjadi dan menewaskan semua penumpang yang ada di dalamnya, temasuk ayah, ibu, beserta ketiga adik Ziya.”

Semenjak kejadian itu hari-hari nya hanya di isi dengan tangis. Enam bulan sudah Ziya menantikan pertemuan itu, namun takdir berkata lain Ziya tidak akan bertemu dengan keluarganya untuk selama-lamanya.

“Tapi seharusnya Ia tidak terus terjerumus dalam kesedihan seperti ini Lusi.”
“Entahlah aku tidak bisa berbuat banyak Ana, aku sudah berusaha menghibur dan menentramkan hatiny a setiap hari, tapi ia tetap saja seperti itu.”

Sebenarnya Ziya adalah mahasiswa yang cerdas dan aktif tapi, setelah kejadian itu keadaan berbalik 1800. Indeksn prestasinya turun dibanding semester sebelumnya. Bahkan ia sudah tidak aktif lagi di kelas atau organisasi yang ia tekuni sebelumnya, ia lebih suka menangis berdiam diri di kamar.

Andai Rifki lebih memilih Ziya dibanding Ana, kemungkinan Ziya tidak akan merasa sehancur ini. Di kampus ini Rifki lah yang paling bisa membuat Ziya merasa bahagia. Sebenarnya ini semua berasal dari kesalah pahaman. Rifki memang orang yang baik, menawan, dan pintar. Akibat terlalu akrabnya pertemanan Ziya dan Rifki, akhirnya Ziya jatuh hati padanya. Saat ia sudah tidak punya keluarga lagi, Rifki lah yang paling di inginkan Ziya untuk menemani hidupnya. Cinta Ziya pada Rifki terlalu besar hingga Ziya tidak mampu melihat kelemahan Rifki.

“Rif, sudah sering kali aku memohon pada mu untuk mencoba mencintai Ziya, hanya kamu yang paling dia inginkan untuk berada di dekatnya.”
“Maaf Lus, kalau hanya sebagai sahabat aku bisa tapi kalau harus menjadi kekasihnya maaf aku tidak bisa.”
“Rif buka mata kamu, buka hati kamu, mengapa kamu jadi egois seperti ini, lihat keadaan Ziya dengan hati tidak hanya dengan mata.”
“Bukan aku egois tapi aku tidak mau lebih menyakiti dirinya, dia akan lebih hancur saat ia tahu aku hanya berpura-pura mencintai dia.”
“Rif cinta bisa tumbuh dengan perlahan, aku yakin suatu saat kamu juga akan bisa mencintai Ziya.”
“Bagaimana aku bisa mencintai Ziya bila di hatiku telah ada Ana. Bayang-bayang wajah Ana selalu muncul dalam pikiran dan anganku. Hingga aku tidak bisa melihat kekurangan Ana, dan aku tidak bisa melihat kelebihan wanita lainnya.”
“Apa, jadi selama ini kamu suka dengan Ana?”
“Iya, kamu tidak pernah tahu betapa sakitnya aku menahan perasaan ini, hanya untuk menjaga perasaan Ziya, dan sampai sekarang aku belum menyatakan perasaan itu pada Ana.”
“Aku mengerti perasaan kamu Rif, tapi kamu juga harus ingat, masih ada banyak keluarga dan saudara yang selalu berada di dekatmu, tapi Ziya, dia sudah tidak punya sanak saudara lagi.”
Tanpa rasa sadar mata Rifki mulai berkaca-kaca. Bukanyya cengeng tapi, ia sedang merasakan pertarungan hebat dalam hatinya.
“Lus aku butuh beberapa hari untuk memberi keputusan ini.”
“Ya Rif maaf telah memaksa kamu seperti ini.”
Tiga minggu kemudian...
“Rif kamu pria yang sangat hebat, berkat pengorbananmu Ziya bisa kembali seperti dulu lagi.”

Rifki hanya tersenyum kecut, tidak sepatah katapun keluar dari mulutnya. Walaupun sebenarnya hari-harinya berjalan dengan begitu menyiksa tapi di depan Ziya, Rifki bertindak seolah ia benar-benar mencintai Ziya.
Hari demi hari Rifki menanti saat yang tepat untuk membongkar semua sandiwara ini. Namun, semakin lama ia melakoni sandiwara ini, ia semakin terjebak yang akhirnya dengan sangat terpaksa ia harus menikah dengan Ziya. Entah apa yang membuat Rifki tidak bisa mencintai Ziya, padahal Ziya adalah gadis yang cantik, baik dan juga pintar, tidak jauh berbeda dengan Ana. Inilah cinta yang tiada orang tahu apa dan kepada siapa cinta itu tumbuh. Meski dua bulan sudah rifki menikah dengan Ziya, Rifki tetap berharap suatu saat ia akan bisa menikah dengan Ana.
Saat Rifki duduk di teras rumah mengamati langit dengan dimensi warna yang begitu sempurna, dedaunan yang berwarna hijau segar, semilir angin secara perlahan merasuki pori-pori kulitnya, membawa hawa sejuk yang dapat menentramkan jiwanya. Handphone yang ada dalam saku bajunya berdering. Seketika matanya binar, senyum bahagia mengembang dari bibirnya yang merah, lesung pipinya menambah sempurna ketampanannya.
“Assalamu’alaikum..”
“Wa’alaikum salam An, Tumben telepon?”
“Ia Rif, aku ingin bertemu dengan kamu, sore ini di Cafe Ceria. Bisa?”
“O.. bisa banget An.”
Inilah saat-saat yang setiap hari dinantikan Rifki. Tentu ia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini.ia berfikir inilah saat yang tepat untuk menyatakan cintanya pada Ana.
“Mau kemana Mas, dandan Cakep seperti itu?”
“Ehmmm... Mau bertemu teman lama.”
“Siapa?”
“Aduh aku juga agak lupa namanya masalahnya teman lama banget, ini saya juga berusaha mengingat-ingat namanya.”
“Ow.. ya sudah Mas hati-hati.”
“Maafkan aku istriku, sebenarnya kamu adalah wanita yang hampir sempurna, kamu tidak pernah berkomentar atau curiga terhadapku, kau mencintaiku setulus hatimu tapi, aku tetap tidak bisa mencintaimu karena telah ada Ana di hatiku.”(kata Rifki di dalam hati)

Kini rifki, tinggal menunggu hitungan menit, untuk mengutarakan cintanya pada Ana, sang pujaan hati. Dia merasa sungguh bahagia, jantungnya berdegup kencang, tangan dan jari-jemarinya mulai terasa dingin, bayang-bayang wajah Ana semakin memenuhi memori otaknya.

“Assalamu’alaikum Rif.”
“Wa’alaikum salam An”, jawab Rifki dengan mata binar menyambut bidadari yang ada di depanny.
“Silahkan Duduk An”.
“Iya. Rif, kenalkan ini Mas Fatih.”
“Rifki”
“Fatih”
“Senang berkenalan dengan Anda”
“Wah An kebetulan kamu mengajak bertemuan disini, ada hal yang perlu aku sampaikan”
“Iya, aku juga ingin menyampaikan kabar baik padamu Rif”
“Apa itu An?”
“Begini Rif, karena kamu teman dekat aku maka aku ingin memberikan undangan spesial ini padamu, secara langsung tidak melalui perantara siapapun.”
Sepucuk undangan pernikahan pun, Ana sodorkan pada Rifki. Seketika tubuh Rifki terasa lemas, jantung seperti tak berdetak lagi, saat ia melihat nama Ana dan Fatih menjadi cover undangan pernikahan itu. Ia kira Fatih adalah kakak Ana, tapi ternyata, Fatih adalah calon suami Ana. Dalam hati Rifki ingin menjerit, dan memberontak kenapa jalan hidupnya harus seperti ini.
“Rif sekarang giliran kamu yang ingin menyampaikan kabar.”
“Maaf An, ini tiba-tiba ada sms dari Adik, katanya nenek sakit, jadi saya harus cepat pulang, ceritanya kapan-kapan saja. O ya selamat ya atas pernikahan kalian berdua, selamat menempuh kehidupan baru, semoga berbahagia”, Rifki tetap berusaha tegar, dan tersenyum walau hatinya telah hancur, maka ia pun harus terpaksa berbohong pada Ana.

Dengan langkah gontai ia pergi ke pantai untuk menenangkan hatinya dan menjerit sekeras-kerasnya. Terpaan ombak yang begitu dingin, angin yang bertiup kencang tidak mampu mendinginkan panasnya hati dan pikirannya. Dia benar-benar hancur, kepalanya mulai terasa berat, matanya semakin memerah, bayangannya mulai kabur, ingatannya mulai melemah, tidak ada yang dapat ia ingat lagi selain wajah Ana.
Kehidupan yang penuh sandiwara, penuh tipu daya dan jurang-jurang yang curam. Manusia sebagai aktor dalam panggung ini, akan binasa apabila tidak dapat menaklukkan kejamnya panggung sandiwara ini. Manusia seharusnya bisa menggunakan akal pikirannya dengan begitu optimal, sehingga nafsu dan tipudaya tidak akan mampu menjeratnya ke lubang kebinasaan. Kini, Rifki hanya bisa mengisi hidupnya dengan tawa. Tertawa dan terus tertawa tanpa ada penyebab yang jelas mengapa dia tertawa.